
Mengupas Penyebab Turis Malaysia Diejek Saat Belajar Bahasa Melayu
Sebuah video viral menampilkan seorang turis asal Malaysia yang mencoba berbicara dalam bahasa Melayu ketika berada di negara sendiri, namun justru diejek oleh rekan-rekannya karena logat atau cara penyampaiannya dianggap “aneh” atau “terlalu baku.” Namun ketika orang yang sama berkunjung ke Indonesia dan mencoba berbicara bahasa Indonesia dengan cara yang sama—terbata-bata, baku, penuh salah—ia justru disambut dengan senyum hangat, apresiasi, dan bahkan pelukan.
Fenomena ini bukan sekadar soal dua negara dan satu rumpun bahasa. Ini adalah cerminan dari bagaimana masyarakat merespons identitas, kebanggaan, dan hubungan terhadap bahasa nasionalnya. Dalam artikel ini, kita akan mengupas mengapa dua reaksi yang sangat kontras bisa muncul hanya dari satu tindakan yang sama: mencoba belajar dan berbicara bahasa.
1. Bahasa sebagai Identitas: Malaysia vs Indonesia
Di Malaysia, bahasa Melayu adalah salah satu bahasa resmi, namun hidup berdampingan dengan bahasa-bahasa lain seperti Inggris, Mandarin, Tamil, dan berbagai dialek lokal. Sebagian besar anak muda di kota besar lebih nyaman berbicara dalam campuran Inggris dan Melayu (Manglish). Sementara itu, di Indonesia, bahasa Indonesia adalah pemersatu dari ribuan pulau dan ratusan etnis yang berbeda.
Karena itulah, di Indonesia, bahasa nasional memiliki nilai simbolik yang jauh lebih kuat: sebagai alat pemersatu bangsa. Belajar dan mencoba bahasa Indonesia bukan hanya dianggap sopan, tapi juga sebagai bentuk penghargaan terhadap Indonesia sebagai entitas budaya dan nasional.
2. Budaya Ejekan dan Budaya Apresiasi
Di Malaysia, berbicara terlalu “bakuwi” kadang dianggap lucu, kaku, atau "tidak natural", terutama jika dilakukan oleh sesama warga lokal. Ini melahirkan semacam budaya ejekan internal—bahasa Melayu yang terlalu formal dianggap aneh, dan sering dijadikan bahan candaan. Hal ini membuat banyak orang malu untuk memperdalam bahasa Melayu, bahkan yang berasal dari rumpun Melayu sendiri.
Sebaliknya di Indonesia, mencoba berbahasa Indonesia meski salah atau terdengar aneh sering justru mendapat pujian. Budaya apresiasi terhadap pembelajar bahasa sangat kuat, terutama terhadap bule atau turis asing. Mereka yang mencoba berkata “terima kasih” atau “apa kabar” dengan aksen lucu justru dianggap manis dan niatnya dihargai, bukan dijadikan bahan tertawaan.
3. Kompleksitas Bahasa Melayu: Internalisasi vs Globalisasi
Bahasa Melayu di Malaysia berhadapan dengan dilema identitas. Di satu sisi, ia adalah bahasa resmi yang melekat dengan sejarah nasionalisme Melayu. Di sisi lain, bahasa Inggris memiliki posisi dominan dalam sistem pendidikan tinggi, media, dan pekerjaan elit. Campuran bahasa Inggris dan Melayu menjadi gaya berbicara umum—sehingga versi asli, yang formal dan baku, terasa “asing” bagi sebagian anak muda Malaysia.
Ini berbeda dengan Indonesia, di mana bahasa Indonesia justru menjadi representasi modernitas dan jembatan komunikasi antar daerah. Versi baku diajarkan dan dibiasakan sejak dini. Bahasa Indonesia yang baik tidak dianggap kaku, tetapi justru elegan dan komunikatif.
4. Sikap terhadap Pembelajar Bahasa: Simpati atau Sinis?
Mengapa seseorang yang mencoba belajar bahasa bisa dipeluk atau justru ditertawakan? Jawabannya ada pada sikap kolektif masyarakat terhadap bahasa dan penutur asing. Di negara yang menghargai keragaman bahasa dan upaya pembelajaran, para pembelajar justru dilindungi, didukung, bahkan dimotivasi.
Indonesia cenderung memiliki pendekatan simpatik—mungkin karena sejarah panjang kolonialisme dan pengalaman menjadi “yang berbeda” dalam pergaulan global. Kita tahu rasanya dikoreksi, dianggap salah bicara, dan sering kali memahami betapa beraninya seseorang yang mau mencoba bicara dalam bahasa kita.
5. Bahasa Sebagai Diplomasi Budaya
Dalam konteks hubungan antarbangsa, bahasa adalah alat diplomasi yang sangat kuat. Turis Malaysia yang mencoba berbicara bahasa Indonesia bukan hanya dilihat sebagai orang asing yang belajar, tapi sebagai bentuk respek dan upaya membaur. Ini menciptakan kesan positif yang langsung terasa: empati.
Sebaliknya, di tempat di mana bahasa tidak dianggap hal penting atau tidak dilindungi oleh kebanggaan kolektif, usaha belajar bahasa malah terlihat canggung atau lucu. Padahal, seharusnya setiap orang yang berani belajar bahasa lain, apalagi bahasa kita, layak dihormati.
6. Refleksi Sosial: Kita Menertawakan Cermin Diri Sendiri?
Ejekan terhadap orang yang berbicara dalam bahasa Melayu baku sebenarnya menunjukkan krisis identitas: kita belum berdamai dengan bahasa kita sendiri. Kita merasa aneh dengan versi resmi bahasa karena merasa lebih akrab dengan bahasa pasar atau slang. Dalam jangka panjang, ini bisa menciptakan jarak antara warga dengan bahasa nasional mereka.
Sebaliknya, Indonesia yang masih memeluk bahasa baku sebagai bagian dari jati diri bangsa bisa menciptakan solidaritas lintas wilayah dan budaya. Bahasa menjadi milik bersama, bukan sekadar formalitas di sekolah.
7. Apa yang Bisa Dipelajari dari Perbedaan Ini?
Turis yang belajar bahasa seharusnya mendapatkan dukungan, bukan ejekan. Jika Indonesia bisa memeluk dengan hangat siapa pun yang mencoba bicara bahasa Indonesia, mungkin sudah saatnya Malaysia (dan negara lain) merefleksikan kembali bagaimana mereka memperlakukan bahasa nasionalnya.
Bahasa bukan sekadar alat komunikasi. Ia adalah simbol identitas, kebanggaan, dan jati diri. Jika kita malu dengan bahasa sendiri, lalu bagaimana kita bisa menuntut dunia untuk menghargainya?
Kesimpulan: Pelukan, Bukan Ejekan
Belajar bahasa lain adalah bentuk keberanian dan penghormatan. Orang yang mencoba bicara bahasa kita layak mendapat pelukan, bukan tertawaan. Indonesia telah memberikan contoh bagaimana bahasa bisa menjadi alat diplomasi dan rasa empati lintas bangsa.
Turis Malaysia yang belajar bahasa Indonesia tidak hanya belajar kata dan tata bahasa. Ia belajar bahwa bahasa bisa menyatukan, bukan memisahkan. Semoga semangat ini bisa menular, lintas negara, lintas batas, dan lintas bahasa.
Posting Komentar