Ilustrasi Lukisan imajinatif Max Stirner berdiri sendirian di tengah reruntuhan simbol agama, negara, dan moralitas

Jadilah Egois: Pemikiran Paling Berbahaya Dalam Sejarah! Filsuf yang Melawan Segalanya

Dipublikasikan pada 6 Agustus 2025

Pendahuluan: Ketika Egoisme Menjadi Filsafat

Pernahkah kamu berpikir bahwa semua nilai, moralitas, bahkan Tuhan hanyalah ilusi sosial yang mengekang kehendakmu? Ada seorang filsuf yang tidak hanya memikirkan itu, tapi menjadikannya inti dari seluruh filsafat hidupnya. Ia berkata: "Jadilah egois! Hanya 'Aku' yang nyata." Pemikirannya dianggap salah satu yang paling ekstrem dan berbahaya dalam sejarah—dan ia dikenal sebagai Max Stirner.

Siapa Max Stirner?

Max Stirner adalah nama pena dari Johann Kaspar Schmidt, seorang filsuf Jerman kelahiran 1806. Ia bukan tokoh populer di zamannya, dan hanya menulis satu buku yang membuatnya dikenang hingga hari ini: "Der Einzige und sein Eigentum" (Bahasa Inggris: "The Ego and Its Own", atau dalam Bahasa Indonesia: "Yang Esa dan Miliknya").

Dalam buku ini, Stirner menyatakan bahwa semua ide—Tuhan, negara, moral, hukum, masyarakat, bahkan kemanusiaan—adalah “hantu”. Hanya individu, “Aku”, yang nyata dan memiliki kekuatan sejati untuk menentukan makna hidupnya sendiri.

Egoisme Radikal: Apa Artinya?

Berbeda dengan egoisme biasa yang berarti mementingkan diri sendiri, egoisme Stirner bersifat ontologis: ia mendeklarasikan bahwa hanya diri sendiri yang punya eksistensi dan otoritas. Ia menolak semua bentuk identitas kolektif—agama, kebangsaan, ideologi—karena menurutnya itu semua hanyalah konstruksi yang mengendalikan individu.

“Jadilah egois,” kata Stirner, “karena hanya dengan mengakui milikmu sendiri, kamu bisa benar-benar bebas.”

Mengapa Pemikirannya Dianggap Berbahaya?

Pemikiran Stirner mengguncang landasan moral dan sosial yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Eropa kala itu. Ia menyerang agama, negara, sosialisme, dan bahkan nilai-nilai kemanusiaan. Bagi banyak pemikir konservatif maupun progresif, ide Stirner terlalu anarkis dan destruktif.

  • Melawan Tuhan: Stirner menyebut Tuhan sebagai “hantu” yang hanya hidup dalam pikiran manusia. Ia menolak agama apapun sebagai bentuk penindasan.
  • Melawan Negara: Bagi Stirner, negara adalah mesin kekuasaan yang mengorbankan individu demi kepentingan kolektif semu.
  • Melawan Moralitas: Ia menganggap moral sebagai alat kontrol sosial, bukan prinsip universal.

Dengan kata lain, Stirner menyerukan pemberontakan total terhadap semua otoritas eksternal.

Egoisme Stirner dan Anarkisme Individualis

Meski Stirner tidak pernah menyebut dirinya sebagai anarkis, pemikirannya menjadi fondasi penting bagi anarkisme individualis. Ia dianggap sebagai pendahulu dari tokoh-tokoh seperti Emma Goldman dan Benjamin Tucker, yang mengembangkan gagasan kebebasan individu secara ekstrem.

Dalam pandangan ini, individu bukan hanya lebih penting dari negara—tapi satu-satunya yang penting. Semua hubungan sosial harus berdasarkan kehendak bebas, bukan paksaan hukum atau norma moral.

Pengaruh pada Nietzsche dan Filsuf Modern

Walau Friedrich Nietzsche tidak pernah secara eksplisit menyebut Stirner, banyak akademisi meyakini bahwa ada kemiripan mendalam antara keduanya—terutama dalam penolakan terhadap moralitas tradisional dan pengagungan kehendak pribadi.

Beberapa tema utama Stirner, seperti penolakan terhadap “kebenaran universal” dan pentingnya individu sebagai pusat makna, juga bisa kita temukan dalam eksistensialisme dan posmodernisme. Bahkan filsuf post-strukturalis seperti Michel Foucault dan Jacques Derrida sempat dikaitkan dengan semangat Stirnerian, meski secara tidak langsung.

Apa Jadinya Jika Dunia Mengikuti Stirner?

Bayangkan dunia di mana tidak ada hukum yang mengikat, tidak ada agama yang memerintah, tidak ada bangsa untuk dibela, dan tidak ada moral yang “harus” diikuti. Hanya ada individu-individu yang mengikuti kehendaknya sendiri, membentuk “serikat egois” berdasarkan kesenangan dan keuntungan pribadi.

Bagi sebagian orang, ini adalah kebebasan sejati. Bagi yang lain, ini adalah resep menuju chaos.

Inilah sebabnya ide Stirner sering disebut sebagai filsafat paling berbahaya—karena ia tidak menawarkan tatanan baru, melainkan membongkar semua tatanan yang ada.

Apakah Stirner Masih Relevan Hari Ini?

Di era di mana individu semakin terfragmentasi oleh media sosial, ekonomi kapitalistik, dan identitas virtual, pemikiran Stirner justru menemukan resonansi baru. Banyak orang yang lelah dengan sistem yang menuntut keseragaman mulai mempertanyakan: siapa aku sebenarnya?

Stirner mungkin tidak memberi jawaban pasti, tapi ia menawarkan kebebasan total untuk menemukan jawabannya sendiri—tanpa dogma, tanpa otoritas, dan tanpa rasa bersalah.

Kritik terhadap Stirner

Meskipun Stirner menggugah pemikiran, banyak kritik diarahkan padanya. Beberapa menyebut bahwa pemikirannya terlalu ekstrem dan tidak dapat diterapkan dalam masyarakat nyata. Tanpa hukum dan norma, bagaimana manusia bisa hidup berdampingan?

Bahkan sesama filsuf radikal seperti Karl Marx menulis kritik panjang terhadap Stirner dalam karya The German Ideology, menyebutnya sebagai “fantasis borjuis yang egoistik”.

Kesimpulan: Is Selfishness the Most Dangerous Thought in History

Apakah kita harus menjadi egois seperti yang diserukan Stirner? Jawabannya bergantung pada seberapa jauh kita bersedia menantang sistem dan nilai yang kita anut. Stirner tidak meminta kita untuk menjadi orang jahat, tapi mengajak kita mempertanyakan: apakah kita benar-benar hidup sebagai diri sendiri, atau sekadar menjadi bayangan dari ide-ide orang lain?

Dalam dunia yang semakin kompleks dan penuh tuntutan, mungkin—hanya mungkin—sedikit egoisme bisa menjadi bentuk kebebasan tertinggi.

Categories: Personal